MEMBANGUN KARAKTER ANAK DI ERA 5.0

MEMBANGUN KARAKTER ANAK DI ERA 5.0

Oleh : Syabandi, S.Pd.I, M.Pd
Pada era Society 5.0 segala aspek kehidupan berkaitan dengan teknologi. Hal tersebut telah membuat manusia harus berpikir kritis serta mampu beradaptasi dan berinovasi. Memasuki era baru ini, diharapkan manusia bisa terus mengembangkan diri bersamaan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Berbeda saat awal kemerdekaan, pendidikan banyak menitik berat pada aspek moral. Tantangan saat itu tidak terlau banyak dan sulit. Peran orang tua yang dominan, secara positif akan mempengaruhi karakter dan kepribadian anak di rumah dan di lingkungan masyarakat. Orang tua yang menerapkan disiplin dan karakter tangguh pada anak akan memberikan pesan positif bagi anak tersebut. Banyak kita jumpai anak-anak yang patuh dan hormat kepada orang tua. Anak-anak yang mempunyai gen positif dari kepribadian orang tua akan menumbuhkan tren positif bagi karakter dan kepemimpinan anak tersebut di masyarakat.

Berbeda halnya dengan pendidikan saat ini. Kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemajuan teknologi dan zaman. Orang tua harus menyesuaikan pendidikan di zaman modern saat ini. Orang tua diusahakan untuk mempelajari perkembangan zaman yang disesuaikan dengan trend saat ini. Orang tua harus lebih melek teknologi mengikuti perkembangan saat ini. Jangan sampai anak-anak lebih memahami dan menguasai teknologi dan informasi ketimbang orang tua. Pendidikan saat ini tidak boleh sama dengan pendidikan zaman kolonial. Pendidikan harus menyesuaikan perkembangan dan kemajuan. Orang tua harus mampu berperan sebagai mitra dan teman bagi anak-anaknya. Pendidikan otoriter yang biasa diterapkan orang tua tidak lagi sepenuhnya manjur. Sehingga sudah harus berbagi dengan menerapkan pendidikan yang demokratis, yaitu antara orang tua dan anak selalu menjalin komunikasi yang baik dan positif sehingga dapat  menentukan keputusan bersama untuk kemajuan anak tersebut.

Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan upaya memerdekakan manusia dalam arti menjadi manusia yang mandiri agar tidak tergantung kepada orang lain secara lahir maupun batin.

Saat ini anak-anak harus merdeka dari intimidasi dan tekanan yang berdampak pada sulitnya mereka dalam menentukan keputusan masa depannya. Orang tua yang tidak mengikuti perkembangan seringkali menjadi persoalan dalam kehidupan keluarga. Ada sebuah acuan bagi kita dalam melakukan pendampingan kepada anak-anak agar sesuai dengan perkembangannya.  Menurut sahabat Ali bin Abi Thalib, didiklah anakmu menjadi tiga tahapan.

Pertama, Periode usia 0-7 Tahun

Pada usia 0-7 tahun pertama dalam mendidik anak diibaratkan dengan memperlakukan mereka layaknya raja. Orang tua sebaiknya ‘melayani’ anak disertai sikap yang lemah lembut, tulus, dan sepenuh hati ketika mengasuh anak. Namun, bukan berarti harus memanjakan anak. Tetapi bersikap tegas dengan penuh kasih sayang.

Jika ingin memberitahukan suatu hal, gunakan bahasa sederhana yang mudah dimengerti serta tanpa kekerasan. Sebab, pada usia ini anak akan banyak meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam tahapan ini orang tua yang mendampingi banyak mengambil peran dalam menentukan keputusan-keputan.

Kedua, Periode usia 8-14 Tahun

Masa ini menjadi salah satu titik paling penting di dalam tumbuh kembang anak. Ajarkan anak tentang hak dan kewajiban, akidah dan hukum agama yang diperbolehkan dan dilarang. Selain itu mulailah membiasakan anak untuk melakukan hal-hal penting dan mendasasr seperti salat lima waktu, memakai pakaian yang bersih, menutup aurat, membiasakan membaca Al-Quran, serta membantu pekerjaan rumah. Dalam tahapan ini antara orang tua dan anak sudah memulai untuk berkomunikasi dan berinteraksi yang banyak. Harus seimbang antara arahan atau instruksi dengan mendengar keluhan atau curahan hati anak. Karena dalam tahapan ini anak belum stabil dalam menentukan keputusan, mereka perlu banyak didampingi agar lebih matang dalam perilaku.

Ketiga, Periode usia 14-21 Tahun

Periode usia ketiga atau terakhir yang dimaksud Ali Bin Abi Thalib adalah saat anak telah akil baligh, usia 14-21 tahun. Orang tua dianjurkan untuk memperlakukan anak sebagai sahabatnya. Bersikaplah layaknya sahabat sehingga mereka dapat terbuka dalam segala hal pada orang tua.

Ajak mereka untuk diskusi banyak hal serta bantu mereka menemukan potensi, lalu kembangkan. Arahkan anak untuk tumbuh sebagai sosok yang percaya diri, pemberani, serta bertanggung jawab. Dalam tahapan ini anak-anak harus merdeka dalam menentukan masa depannya.

Selain itu, latihlah anak untuk mandiri karena kehidupan mereka tidak bisa selalu bergantung pada orang tua, teman, atau orang lain. Namun, sebaiknya tetap diberi pengawasan untuk mencegah anak pada hal-hal negatif yang tidak diinginkan.

Orang tua yang bijak tentu tidak akan salah dalam mengambil keputusan agar anak yang dibimbing, dididik dan dibesarkan menjadi anak yang tumbuh dan berkembang postif sesuai dengan fitrahnya. Orang tua bisa mengambil langkah-langkah yang positif sesuai perkembangan mereka masing-masing. Setiap perkembangan pastilah memerlukan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan perkembangannya.

Tujuan dari Pendidikan dalam Islam tentu akan menjadikan seorang anak yang tangguh dan hebat sesuai dengan perkembangan dan zamannya. Bukan zaman kita saat dahulu kala. Tentu kita berharap anak yang tumbuh dengan pendidikan yang mengedepankan moral dan keimanan akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai nilai tauhid yang baik. Pendidikan Islam sejatinya adalah sebagai wahana pembentukan karakter manusia yang bermoral tinggi. Dalam ajaran islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati dalam berkeyakinan kepada Allah swt.

Kita berharap agar anak-anak yang kita bimbing dan kita bina menjadi anak yang memiliki karakter tangguh sehingga mampu bersaing dengan orang-orang yang ada di luar sana. Selain karakter yang tangguh mereka juga harus memiliki aqidah yang kuat dan ibadah yang benar.

 

 

BERTAHUN-TAHUN AKU MELAKUKANNYA

BERTAHUN-TAHUN AKU MELAKUKANNYA


Oleh Elly Trianti Soetomo, S.Pd

Saya terbiasa membuka pembelajaran dengan kegiatan yang sudah tercatat rapi dalam perangkat ajar. Mulai dari mengucapkan salam, bertanya kabar, mengabsen siswa, yel-yel, ASALAM (ada sampah langsung ambil), pemberian motivasi, nasehat, hingga apersepsi dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Rasanya susunan kegiatan pembuka tersebut sudah sangat tepat dengan prosedur dan kerap saya lakukan karena sesuai dengan Standart Operating Procedur (SOP) dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

Merasa telah tepat melakukan runutan pembukaan selama berahun-tahun mengajar, hingga tersadarkan dengan pertanyaan, “Apakah benar setiap mulai pembelajaran harus seperti itu?” Tidak banyak memang waktu yang saya alokasikan untuk membuka pelajaran, hanya berkisar sepuluh menit saja. Namun setelah dihitung, diakumulasikan selama bertahun-tahun mengajar, sepuluh menit itu telah menjadi ratusanribu waktu dan sayangnya saya lupa mengevaluasi keefektifan dan korelasinya.

Berbeda hal ketika bosan melanda atau saya berpacu dengan waktu untuk mencapai targetan hari itu, jujur terkadang beberapa kegiatan pembuka akhirnya mendapat catatan free memory. Kemudian mencoba mengingat hampir semua siswa hafal dengan setiap pertanyaan di awal pembelajaran. Apakah ini tanda bahwa anak-anak sudah bosan dengan cara kita membuka pembelajaran? Apakah saya memulai sesuatu tanpa makna? Padahal sepuluh menit pertama adalah indikator keberhasilan seorang guru dalam memberikan pembelajaran hingga akhir. Sepertinya saya harus mencoba cara lain dalam membuka pembelajaran agar sejak awal siswa memiliki antusiasme dalam belajar, dan itu bertahan hingga akhir serta mengalami pembelajaran bermakna juga mendalam, tidak sekedar ketertarikan sesaat pada saat pengkondisian melalui ice breaking yang belum tentu juga berkaitan dengan materi serta tujuan pembelajaran yang harus didapatkan oleh siswa.

Dipaksa untuk berpikir cara membuka pembelajaran, rasanya seperti tertampar dan tersadarkan akan sesuatu yang telah terlewatkan. Sebagai seorang pendidik, sejatinya kita harus cerdas, inovatif, dan kreatif dalam mengantarkan dan membangun inkuiri pemahaman serta transfer pembelajaran. Terlebih dengan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu Kurikulum Merdeka, seorang guru haruslah memastikan setiap siswa merdeka menentukan tujuan pembelajaran yang ingin mereka capai. Ketertarikan siswa pada kegiatan pembuka tidak boleh temporal. Beberapa saat terpusat pada guru, untuk kemudian sibuk kembali dengan dunianya masing-masing.

Perhatian dan ketertarikan siswa untuk belajar harus dibangun sejak awal hingga akhir, bahkan memastikan setiap siswa mendapatkan haknya untuk memperoleh pembelajaran yang mendalam dan bermakna untuk kehidupan mereka. Kegiatan pembuka yang hanya sepuluh menit haruslah dapat memunculkan kesadaran atau keyakinan kepada setiap siswa, “Mengapa saya harus bersungguh-sungguh mempelajari materi ini?” Guru bukanlah penentu segalanya. Siswa harus dilibatkan berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai dari pembelajaran yang akan didapatkannya.

Ketika setiap siswa telah menemukan dan menentukan Big Why-nya sendiri, saya yakin pembelajaran akan jauh lebih efektif, menarik, dan siswa mendapatkan pengalaman belajar yang mendalam serta bermakna. Pembelajaran pun akan jauh lebih menyenangkan dan tidak akan membuat siswa merasa bosan. Bahkan bisa jadi setiap siswa menolak untuk berhenti belajar. Ma Syaa Allah luar biasa apabila proses yang menyenangkan itu dapat diterapkan oleh setiap pendidik dan dirasakan oleh peserta didik. Memikirkannya saja saya sudah takjub luar biasa. Sulit? Mungkin jika dibayangkan akan terasa sulit. Karena saya sudah bertahun-tahun terbiasa melakukan hal yang selama ini dianggap tepat.  Namun berubah merupakan tantangan untuk memperbaiki wajah Pendidikan di negeri tercinta, Indonesia. Pertanyaannya adalah, Apakah kita mau menjadi tersebut? Atau kita akan tetap berada di zona nyaman dengan tetap melakukan hal yang sama dan tidak melakukan perubahan apa pun. Saya pribadi merasa tertantang dan akan berusaha melakukan perubahan. Wallahu’alam bi showab.